 |
Bireuen malam hari |
Bireuen adalah ibukota Kab.Bireuen, yang dulunya adalah bagian dari
Kab.Aceh Utara. Kota ini dapat dikatakan merupakan kota perdagangan dan
transit lalu lintas barang dan orang. Dari kota ini terdapat 3 arah
utama, ke Selatan menuju Kab.Bener Meriah - Kab.Aceh Tengah. Sementara
ke Barat ke arah Sigli - Banda Aceh dan ke Timur menuju kab.Aceh Timur
dan SUMUT.
Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal
sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di
Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa
terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten
Bireuen.
Di atas bukit kecil di dusun Tgk Keujreuen di desa itu
menurut Ibrahim, makam Raja Jeumpa ditemukan. Secara geografis, kerajaan
Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada
di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.
Dahulu kala desa-desa Paloh Seulimeng, Abeuk Usong, Bintanghu, Blang
Seupeung, Blang Gandai, Cot Iboeh, Cot Meugo, Blang Seunoeng, Blang
Rheum, Cot Leusong, Glumpang Payong, Lipah Rayeuk, Batee Timoh dan
Lhaksana, berada di daerah yang terletak di tepi pantai.
Daerah
persawahan sekarang merupakan daerah genangan air laut dan rawa-rawa
yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan. Di antara tumbuhan dan
hutan-hutan itu ada undukan tanah yang lebih tinggi dari permukaaan
laut, yang merupakan pulau-pulau kecil.
Saat itu Desa Blang
Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga bandar
pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai
Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh
kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut
membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong.
Menurut
Ibrahim dalam tulisannya itu, bukti yang menunjukkan bahwa daerah
tersebut dilingkari oleh air laut terdapat di Cot Cut, antara Abeuk
Usong dengan Paloh Seulimeng, yaitu berupa lobang yang konon tak pernah
tersumbat. Setahun sekali bila air pasang, maka air di lubang tersebut
akan terasa asin. Bukti lainnya adalah sumur-sumur di desa-desa tersebut
airnya asin.
Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Pada awal tahun 1989 dua pemuda Cina, laki – laki dan perempuan
mengunjungi makan Raja Jeumpa. Kepada sesepuh desa mereka mengatakan
berasal dari Indo Cina, Kamboja. Mereka sengaja datang ke lokasi
kerajaan Jeumpa untuk mencari tongkat nenek moyangnya zaman dahulu.
Konon tongkat emas Raja Cina tersebut jatuh dan hilang saat menyerbu
kerajaan Jeumpa, yang kemudian ditemukan oleh Raja Jeumpa.
Kerajaan Jeumpa pernah diperangi oleh pasukan Cina, Thailand dan
Kamboja. Mereka pernah menduduki benteng Blang Seupeung. Disebutkan,
peperangan tersebut terjadi karena Raja Cina menculik permaisuri Raja
Jeumpa yang cantik jelita, Meureudom Ratna.
Permaisuri Raja
Jeumpa itu berhasil mereka bawa kabur sampai ke Pahang (Malaysia). Namun
kemudian Meureudoem Ratna berhasil dibawa kembali ke Blang Seupeueng.
Setelah Panglima Prang Raja Kera yang berasal dari Ulee Kareung ,
Samalanga, berhasil mengalahkan Raja Cina.
Tidak diketahui persis
riwayat berakhirnya masa kejayaan kerajaan Jeumpa. Begitu juga dengan
penyebab mangkatnya raja Jeumpa. Namun dari cerita turun-temurun,
masyarakat di sana meyakini pusara Raja Jeumpa terdapat di atas sebuah
bukit kecil setinggi 40 meter, yang ditumbuhi pohon-pohon besar yang
sudah berumur ratusan tahun.
Makam raja itu hanya ditandai dengan
batu-batu besar, yang berlokasi di dusun Tgk Keujruen, Desa Blang
Seupeueng. Sedangkan makam isterinya, Maureudom Ratna, berada di Desa
Kuala Jeumpa.
Raja Jeumpa adalah putra dari Abdullah dan Ratna
Kumala. Abdullah memasuki kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga
yang datang dari India belakang untuk berdagang. Dia memasuki negeri
Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa.
Dia kemudian
diterima oleh penduduk pribumi dan disediakan tempat tinggal. Kesempatan
itu digunakan oleh Abdullah untuk memulai menjalankan misinya sebagai
Da’i Muslim. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima agama Islam
karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah.
Abdullah akhirnya dinobatkan sebagai menjadi raja dan Ratna Keumala
sebagai permaisuri di negeri Blang Seupeung tersebut. Raja Abdullah
kemudian menamakan negeri yang dipimpinnya itu dengan nama “Jeumpa”.
Sesuai dengan nama negeri asalnya yang bernama “Kampia”, yang artinya
harum.
Raja Abdullah mengatur strategi keamanan kerajaan dengan
mengadakan latihan perang bagi angkatan darat dan laut. Saat itu
angkatan laut merupakan angkatan perang yang cukup diandalkan, yang
dipimpin oleh seorang Laksamana Muda.
Raja Abdullah meninggal
dunia dengan meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, yaitu Siti
Geulima dan Raja Jeumpa. Setelah Raja Jeumpa dewasa dia membangun
benteng pertahanan di tepi Pantai, yaitu di Laksamana (sekarang Desa
Lhakmana-red). Raja Jeumpa kemudian memperistri seorang putri anak Raja
Muda yang cantik jelita, bernama Meureundom Ratna, dari Negeri Indra (
kira-kira daerah Gayo). Menurut rentetan sejarah, Meureudom Ratna masih
ada hubungan keluarga dengan putri Bungsu.
Kakak Raja Jeumpa,
Siti Geulima dipinang oleh seorang Raja di Darul Aman yang bernama Raja
Bujang. Maka atas dasar perkawinan itu antara Kerajaan Jeumpa dengan
Darul Aman ( sekarang Peusangan Selatan ) terjalin hubungan lebih erat.
Sesuai dengan namanya “Darul Aman” yakni negeri yang aman sentosa.
Menelisik Bireuen dari Akarnya
Menulis tentang Bireuen adalah merekan jejak perubahan. Sebut saja
Kerajaan Jeumpa sebagai akar yang kemudian melahirkan Kabupaten Bireuen.
Ada riwayat panjang terekam fragmentaria sejarah.
Kerajaan-kerjaan kecil di Aceh tempo dulu termasuk Jeumpa mengalami
pasang surut. Apalagi setelah kehadiran Portugis ke Malaka pada tahun
1511 M yang disusul dengan kedatangan Belanda. Secara de facto Belanda
menguasai Aceh pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki
benteng Kuta Glee di Batee Iliek, di bagian barat Kabupaten Bireuen.
Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van
Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam
Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen. Salah
satunya adalah Afdeeling Noord Kust van Aceh (Kabupaten Aceh Utara) yang
dibagi dalam tiga Onder Afdeeling (kewedanan).
Kewedanan
dikepalai oleh seorang Countroleur (wedana) yaitu: Onder Afdeeling
Bireuen (kini Kabupaten Bireuen), Onder Afdeeling Lhokseumawe (Kini Kota
Lhokseumawe) dan Onder Afdeeling Lhoksukon (Kini jadi Ibu Kota Aceh
Utara).
Selain Onder Afdeeling tersebut, terdapat juga beberapa
daerah Ulee Balang (Zelf Bestuur) yang dapat memerintah sendiri terhadap
daerah dan rakyatnya, yaitu Ulee Balang Keureutoe, Geureugok, Jeumpa
dan Peusangan yang diketuai oleh Ampon Chik.
Pada masa pendudukan
Jepang istilah Afdeeling diganti dengan Bun, Onder Afdeeling diganti
dengan Gun, Zelf Bestuur disebut Sun. Sedangkan mukim disebut Kun dan
gampong disebut Kumi.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945,
Aceh Utara disebut Luhak, yang dikepalai oleh Kepala Luhak sampai tahun
1949. Kemudian, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui
Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, dibentuklah Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan beberapa negara bagian. Salah
satunya adalah Negara Bagian Sumatera Timur, Aceh dan Sumatera Utara
tergabung didalamnya dalam Provinsi Sumatera Utara.
Kemudian
melalui Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1956 tentang pembentukan
daerah otonom setingkap kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, maka
dibentuklah Daerah Tingkat II Aceh Utara.
Keberadaan Aceh dibawah
Provinsi Sumatera Utara menimbulkan rasa tidak puas masyarakat Aceh.
Para tokoh Aceh menuntut agar Aceh berdiri sendiri sebagai sebuah
provinsi. Hal ini juga yang kemudian memicu terjadinya pemberontakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953.
Pemberontakan ini baru padam setelah keluarnya Keputusan Perdana Menteri
Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1957 tentang pembentukan Provinsi
daerah Istimewa Aceh dan Aceh Utara sebagai salah satu daerah Tingkat
dua, Bireuen masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Utara.
Baru pada
tahun 2000 Bireuen menjadi Kabupaten tersendiri setelah lepas dari Aceh
Utara selaku Kabupaten induk, pada 12 Oktober 1999, melalui Undang
Undang Nomor 48.
Melongok Potensi Bireuen
Kabupaten Bireuen
dibentuk pada 12 Oktober 1999, melalui Undang Undang Nomor 48. Letak
pada jalur Banda Aceh – Medan serta simpang menuju Aceh Tengah, membuat
Bireuen sebagai daerah transit yang maju.
Daerah tingkat dua pecahan
Aceh Utara ini termasuk dalam agraris. 52,2 persen wilayahnya
pertanian. Kondisi itu pula yang membuat 33,05 persen penduduknya
bekerja di sektor agraris. Sisanya tersebar di berbagai lapangan usaha
seperti jasa perdagangan dan industri.
Dari lima kegiatan pada
lapangan usaha pertanian, tanaman pangan memberi kontribusi terbesar
untuk pendapatan Kabupaten Bireuen. Produk andalan bidang ini adalah
padi dan kedelai dengan luas tanaman sekitar 29.814 hektar.
Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan Samalangan, Peusangan, dan
Gandapura. Untuk pengairan sawah, kabupaten ini memanfaatkan tujuh
sungai yang semua bermuara ke Selat Malaka. Salah satunya, irigasi Pante
Lhong, yang memanfaatkan air Krueng Peusangan. Padi dan kedelai
merupakan komoditas utama di kabupaten ini.
Bireuen juga dikenal
sebagai daerah penghasil pisang. Paling banyak terdapat di Kecamatan
Jeumpa. Pisang itu diolah jadi keripik. Karena itu pula Bireuen dikenal
sebagai daerah penghasil keripik pisang. Komoditas khas lainnya adalah
giri matang, sejenis jeruk bali. Buah ini hanya terdapat di Matang
Geulumpang dua.
Potensi kelautan juga sangat menjanjikan. Untuk
menopang hal itu di Kecamatan Peudada dibangun Pusat Pendaratan Ikan
(PPI). Selain itu ada juga budi daya udang windu. Sementara untuk
pengembangan industri, Pemerintah Kabupaten Bireuen menggunakan kawasan
Gle Geulungku sebagai areal pengembangan. Untuk kawasan rekreasi,
Bireuen menawarkan pesona Krueng Simpo dan Batee Iliek. Dua sungai yang
menyajikan panorama indah.
Daerah pecahan Aceh Utara ini juga
dikenal sebagai kota juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan
sejarah. Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir
yang diserang Belanda yang menyisakan kisah kepahlawan pejuang Aceh
dalam menghadapi Belanda.
Kisah heroik lainnya, ada di kubu
syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Pelintas jalan Medan-Banda
Aceh, sering menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan itu,
delapan syuhada dikuburkan. Mereka tewas pada tahun 1902 saat melawan
pasukan Marsose, Belanda.
Kala itu delapan syuhada tersebut
berhasil menewaskan pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun,
ketika mereka mengumpulkan senjata dari tentara Belanda yang tewas itu,
mereka diserang oleh pasukan Belanda lainnya yang datang dari arah
Jeunieb.
Kedelapan pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk
Panglima Prang Rayeuk Djurong Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak
Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech
Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, serta Nyak Ben Matang Salem
Blang Teumeuleuk. Makan delapan syuhada ini terletak di pinggir jalan
Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu
dikenal sebagai kubu syuhada lapan.
#HISTORYOFNANGGROE>HilalBireuen. >AcehLoenSayang.blogspot.com